Selepas ASI Eksklusif

Saya tadinya mau menjuduli tulisan ini dengan “Tips Sukses 6 Bulan ASI Eksklusif, Nomor 2 Akan Membuatmu Terkejut!” ala-ala artikel click-bait yang ternyata isinya zonk wkwkwkwk… Tapi enggak kok, bercanda. Saya nggak se-songong itu hahaha. Saya cuma pengen berbagi cerita tentang salah satu pengalaman luar biasa dalam enam bulan terakhir ini: menyusui Pijar.

Kalau ini adalah acknowledgment atau halaman berisi ucapan terima kasih di karya tulis, maka ada dua hal yang tak bisa terlewat dicantumkan di sini: betapa saya bersyukur bahwa saya sudah belajar tentang ASI dan menyusui SEBELUM melahirkan, dan betapa saya bersyukur bahwa saya punya supporting system yang baik sepanjang enam bulan berproses ini.

Tuntas membaca semua dokumen di grup AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) semasa masih hamil membuat saya tak ragu menanyakan soal IMD dan rooming in pada nakes di rs tempat saya kala itu berencana akan melahirkan.

Pengetahuan bahwa lambung bayi baru lahir itu keciiill sekali dan hanya membutuhkan beberapa tetes ASI di hari-hari pertama kelahirannya membuat saya percaya diri menyusui bayi merah itu, bahkan meski saya sesungguhnya tak tahu seberapa banyak ASI saya yang sudah keluar saat itu karena selalu disusukan langsung ke bayi tanpa coba dipompa (saya memantau frekuensi pipis dan berat badannya*, tentu saja).

Pengetahuan bahwa bayi menyusu terus menerus bisa jadi sedang growth spurt, dan bahwa bayi maunya menempel di dada ibu terus-menerus bukan cuma karena lapar tapi juga karena mencari kenyamanan, membuat saya tak pernah sedikitpun berpikir bahwa ASI saya kurang sehingga perlu tambah sufor/mpasi dini (lagi-lagi, saya selalu memantau frekuensi pipis dan kurva KMS kenaikan berat badannya*).

Pengetahuan tentang keberadaan konselor laktasi, membuat saya tahu ke mana harus pergi ketika kesakitan gara-gara pelekatan yang belum tepat, munculnya milk blister, dan mastitis.

Pengetahuan tentang nursing strike, membuat saya tak berpikir tentang menyapih dini ketika Pijar sempat mogok menyusu beberapa waktu lalu, meski nangis-nangis stres dan galau sih tetep yaa wkwwkwk…

Lalu, supporting system. Bersyukur sekali saya punya suami yang pengertian bahwa istrinya perlu menjaga kadar hormon oksitosin (hormon cinta, hormon bahagia) tetap melimpah agar aliran ASI tetap lancar. Suami yang mau saya senggol paksa malam-malam agar ia ikut bangun juga saat Pijar ingin menyusu hahaha. Perjuangan menyusui ini adalah perjuangan kami bertiga.

Bersyukur pula saya ikut di beberapa grup yang bisa jadi tempat saya bertanya seputar tumbuh kembang bayi dan menumpahkan resah. Tanpa dukungan-dukungan itu, mungkin saya sudah akan menyerah di tengah jalan.

Saya nggak punya freezer penuh ASI perah seperti beberapa teman dan ga rutin memompa juga, ya sesimpel karena saya 24 jam bersama Pijar sih hahaha. Tapi ASI saya cukup. Cukup untuk menjadi satu-satunya asupan nutrisi Pijar dalam enam bulan ini.

Besok, Pijar akan memulai satu babak baru dalam hidupnya: mencoba makanan dan minuman lain selain ASI. Dan saya juga memasuki satu babak baru dalam hidup saya: menerima kenyataan bahwa saya bukan lagi ‘satu-satunya’ dan ‘seluruh dunianya’ bagi Pijar.

Sedih sih. Tapi ini adalah langkah pertama bagi saya untuk belajar memahami satu hal: bahwa anakmu bukanlah milikmu. Peran saya hanyalah mengantarnya ke dunia, menemaninya berproses dari seorang ‘helpless baby’ menjadi ‘responsible adult’, untuk kemudian melepasnya menjalani kehidupannya sendiri.

*Beberapa pemahaman dasar yang jadi pegangan saya: (1) tanda kecukupan ASI adalah pipis >6 kali sehari untuk bayi usia lebih dari 6 hari dan kenaikan berat badan mengikuti kurva di KMS atau growth chart (BUKAN mengikuti kenaikan berat badan anak lain); (2) produksi ASI adalah supply by demand, semakin sering disusukan/diperah akan semakin banyak, dan (3) dot dan empeng mesti dihindari karena bikin bingung puting (bayi menolak menyusu) dan bingung puting laten (produksi ASI turun karena daya hisap bayi melemah).

Post-scriptum: pertama kali di-post di Fb pada 24 Februari 2018

Mengenali Ketinggian

Beberapa minggu lalu ketika akhirnya Pijar bisa glundang-glundung dari ujung kasur ke ujung lainnya, kami memasang bantal-bantal di sebelah kasur (kasur kami di lantai, tanpa dipan, tapi cukup tinggi). Pada awalnya, Pijar glundang-glundung dengan bersemangat tak tentu arah, hingga ngglundung ke bantal, dan akhirnya ngglundung ke karpet.

Tapi hari ini berbeda.

Continue reading “Mengenali Ketinggian”

[Review Gendongan] Ringsling VS Geos

Gendongan apa sih yang enak dan simpel pakenya? SSC (soft-structured carrier, gendongan ransel) jelas, karena tinggal ceklek dan bertumpu pada 2 bahu. Pilihan lain? Kalau di grup gendong-menggendong sih, yang paling sering saya lihat digalaukan adalah antara ringsling (gendongan kain panjang dengan ring aluminium tidak bercelah di salah satu ujungnya) dan geos (gendongan kaos, jenis pouch yang bahannya stretchy). Kebetulan saya punya keduanya dan mau share sedikit pengalaman pakai keduanya.

Continue reading “[Review Gendongan] Ringsling VS Geos”

Jalan-Jalan Biar Tetap Waras

Begini,

Sesungguhnya, nggak setiap saat anak bayik itu lucu menggemaskan dan unyelable seperti foto yang saya aplot kemarin. Ada kalanya (sering!) si anak bayik itu rusuh rewel nangis jerit-jerit nggak tahu apa yang dipengenin sampe bikin emaknya astagfirullah terus muhahahaha.

Maka sesekali, tak perlu ragu melakukan apa yang kiranya bisa bikin emak tetap waras.

Continue reading “Jalan-Jalan Biar Tetap Waras”

Jelang Tiga Bulan

Jelang tiga bulan. Anaknya udah hobi main, hobi tolah-toleh dan liat pemandangan kalo lagi jalan-jalan, suka ngoceh, suka miring-miring sendiri, dan kadang kalo lagi mood suka berjuang mbalik sendiri kalo lagi ditengkurepin 😂. Mulai suka bikin ekspresi wajah macem-macem juga, termasuk senyum yang, kata bapaknya, meluluh-lantakkan hati *padahal emaknya Pijar aja ga pernah digombalin kayak gitu sama si bapak 😔.

Continue reading “Jelang Tiga Bulan”